{[['']]}
Untuk menyongsong Tahun Baru, berbagai macam acara dan seremonial telah dipersiapkan oleh masyarakat, khususnya di Indonesia dengan mengatasnamakan Islam. Apakah bentuknya memperingatinya, muhasabah tahun baru, dzikir bersama, atau sejenisnya dan acara-acara yang hanya bersifat foya-foya belaka, seperti menyulut petasan, kembang api, meniup terompet dan semisalnya.
Karena pentingnya permasalahan ini, dan sebagai bentuk pencerahan kepada kaum Muslimin, topik ini sengaja kami angkat, dengan harapan semoga bermanfa'at. amin.
Dzikir berjama'ah merupakan amalan yang tidak pernah ada pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, shahabat dan juga masa tabi'in. Namun hal itu telah diklaim oleh sebagian kaum Muslimin sebagai amalan sunnah, dengan membawa berbagai dalil yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah dan fatwa-fatwa ulama yang dipahami oleh mereka secara tidak benar.
Berikut beberapa kesalahan metode dalam pengambilan dalil (istidlal) yang dilakukan oleh mereka yang menganggap bahwa dzikir berjama'ah adalah sunnah:
1. Jama'ah Dzikir dan Dzikir Berjama'ah Dipahami Semakna.
Secara sepintas orang yang tidak paham, akan menganggap kedua istilah tersebut semakna (sama), padahal sebenarnya berbeda. Perbedaannya: Kalau jama'ah dzikir adalah sekelompok orang yang melakukan amalan yang masuk kategori dzikir seperti belajar, membaca al-Qur'an, melantunkan wirid dan lain sebagainya. Sedangkan dzikir berjama'ah adalah melakukan atau melantunkan dzikir dengan cara berjama'ah atau satu suara baik dengan komando atau tidak.
Kalau kita meneliti hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan fatwa para ulama yang berkenaan dengan dzikir, maka tidak kita dapati satu pun kalimat yang mengindikasikan pada makna dzikir berjama'ah. Semuanya menunjukkan pada makna jama'ah dzikir, baik kalimat jama'ah dzikir, halaqah dzikir maupun dengan majlis dzikir, dan semuanya memiliki makna yang sama.
Beranggapan bahwa jama'ah dzikir dan dzikir berjama'ah memiliki makna yang sama merupakan sebuah kekeliruan. Jama'ah dzikir merupakan sekelompok orang yang melakukan berbagai amal ketaatan yang masuk pada kategori dzikir, tanpa harus dipahami bahwa mereka melakukan itu dengan cara bersama-sama, satu suara dan serempak.
Yang masuk kategori dzikrullah (dzikr kepada Allah subhanahu wata’ala) menurut para ulama di antaranya adalah majlis-majlis ilmu, halaqah al-Qur'an, bacaan tasbih, tahmid, tahlil, takbir dan semisalnya.
Maka dapat disimpulkan bahwa jama'ah dzikir adalah sunnah dan warid (berasal) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan dzikir berjama'ah dengan satu suara adalah sesuatu yang masih dipertanyakan, kalau tidak dibilang sama sekali tidak memiliki dasar.
2. Memahami Sighat (Konteks) Jama’ sebagai Anjuran untuk Melakukannya secara Berjama'ah
Di antara ayat yang dipahami sebagai anjuran dzikir berjama'ah adalah sebagai berikut, artinya;
"(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (QS. 3:191).
Ayat di atas, dianggap sebagai dalil yang membolehkan dzikir berjama'ah karena menggunakan sighat (konteks) jama' (plural) yaitu yadzkuruna. Menurut mereka jama’ berarti banyak dan banyak artinya bersama-sama.
Pengambilan dalil semacam ini adalah tidak benar, karena tidak setiap kalimat yang disampaikan dalam bentuk jama’ harus dipahami bahwa itu dilakukan dengan bersama-sama.
Syaikh Dr. Muhammad bin Abdur Rahman al-Khumayyis, penulis makalah “Adz-Dzikr al-Jama’i baina al-Ittiba’ wal ibtida’ (telah dibukukan dengan judul yang sama), menjelaskan bahwa sighat (konteks) jama’ dalam ayat di atas adalah sebagai anjuran yang bersifat umum dan menyeluruh kepada semua umat Islam untuk berdzikir kepada Allah subhanahu wata’ala tanpa kecuali, bukan anjuran untuk melakukan dzikir berjama'ah.
Selain itu jika sighat (konteks) jama’ dalam ayat tersebut dipahami sebagai anjuran untuk melakukan dzikir secara berjama'ah atau bersama-sama maka kita akan kebingungan dalam memahami kelanjutan ayat tersebut. Disebutkan bahwa dzikir itu dilakukan dengan cara berdiri (qiyaman), duduk (qu'udan) dan berbaring ('ala junubihim). Nah bagaimanakah praktek dzikir bersama-sama dengan cara berdiri, duduk dan berbaring itu? Apakah ada dzikir berjama'ah dengan cara seperti ini?
Permasalahan lainnya adalah bahwa ayat ini turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat berada di samping beliau. Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat memahami ayat tersebut sebagai perintah untuk dzikir bersama-sama satu suara?
3. Memahami Dalil Umum dengan Pemahaman Khusus
Di antara dalil umum yang menyebutkan tentang keutamaan dzikir yaitu sebagaimana yang diriwayatkan dari Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bergabung dalam salah satu jama'ah dzikir.
Di dalam hadits tersebut memang disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bergabung dalam jama'ah dzikir, tetapi riwayat ini masih bersifat umum, tidak menyentuh pada kaifiyat (tata cara) pelaksanaan dzikir. Tidak dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memimpin dzikir lalu ditirukan oleh para sahabat, atau mereka melakukannya bersama-sama dengan satu suara tanpa komando dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, atau bagaimana?
Ketidakjelasan tentang bagaimana pelaksanaan dzikir ini menunjukkan bahwa mereka melakukannya tidak dengan berjama'ah, namun masing-masing berdzikir atau berdo’a sendiri-sendiri. Sebab kalau itu dilakukan dengan berjama'ah apalagi jika dipimpin oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tentu amat banyak shahabat yang meriwayatkan, karena akan menjadi peristiwa penting, dan kemungkinan besar mereka mengadakan acara yang sama di waktu waktu yang lain. Hal ini juga dikuatkan dengan pengingkaran para sahabat terhadap dzikir berjama'ah seperti yang dilakukan Umar bin al-Khaththab , Ibnu Abbas, Khabbab bin Art radhiyallahu ‘anhum dan selain mereka.
Maka memahami bergabungnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam jama'ah dzikir (yang sifatnya umum) dengan pemahaman yang lebih khusus yakni dzikir berjama'ah merupakan pemahaman yang salah, hanya sekedar persangkaan dan tidak memiliki dasar yang kuat.
4. Menganggap Cara Baru dalam Ibadah sebagai Bid'ah Hasanah
Terkadang di antara kaum muslimin yang melakukan dzikir berjama'ah sebenarnya mengetahui bahwa apa yang mereka lakukan tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya. Akan tetapi mereka beranggapan bahwa itu merupakan bid'ah hasanah (bid'ah yang baik), apalagi namanya tetap dzikir.
Menurut Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimain, bahwa sesuatu yang dianggap sebagai bid'ah hasanah, maka ia memiliki dua kemungkinan, yang pertama adalah bahwa sebenarnya itu bukan bid'ah namun disangka bid'ah dan kemungkinan yang ke dua bahwa hal itu memang bid'ah namun yang bersangkutan tidak tahu keburukannya (sehingga dikira baik).
Memang ada sebagian ulama yang membagai bid'ah menjadi bid'ah hasanah (baik) dan bid'ah dhalalah (sesat), atau membagi bid'ah menjadi wajibah (wajib), mandubah (disukai), mubahah (boleh), makruhah (dibenci) dan muharramah (terlarang). Hanya saja yang perlu kita cermati adalah bahwa yang mereka maksudkan dengan bid’ah yang baik (hasanah) adalah masalah baru yang sama sekali tidak terkait langsung dengan ibadah. Hal ini terbukti dari contoh bid'ah hasanah yang mereka kemukakan, seperti mengarang kitab, membantah kesesatan, membuat sekolah, pesantren, memilih jenis makanan yang baik, membuat harakat dalam al-Qur'an atau membukukannya dan lain sebagainya. Dan contoh-contoh di atas sama sekali tidak ada unsur ibadah yang ditambah dan dikurangi, bahkan yang demikian merupakan sarana untuk kebaikan atau penunjang ibadah.
Sedangkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi, ”kullu bid'atin dhalalah,” maka yang dimaksudkan adalah hal baru dalam ibadah atau syari'at. Maka seluruh hal yang baru dalam urusan ibadah adalah sesat, karena tidak ada seorang pun yang berhak membuat tata cara atau bentuk peribadatan di dalam Islam, siapa pun orangnya. Termasuk di dalamnya menentukan tata cara berdzikir kepada Allah subhanahu wata’ala, menentukan jenis bacaan, bilangan bacaan dan waktu pelaksanaannya.
Dzikir bersama yang berkembang akhir-akhir ini, kalau kita cermati ternyata merupakan perkara baru dalam Islam, baik dari sisi cara pelaksanaannya yang dilakukan secara bersama-sama dengan dipimpin seorang pemandu, atau dari sisi bilangannya yakni membaca kalimat ini sekian puluh, atau ratus, atau seribu kali dan juga terkadang dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu seperti malam Tahun Baru Hijriyah dan lain sebagainya. Sedangkan ibadah dikatakan benar dan memenuhi kriteria ittiba' (meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) apabila sesuai dengan petunjuk beliau dari sisi sebab, tata cara, waktu, bilangan, jenis dan tempatnya. Dan segala sesuatu yang tidak pernah dikhususkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka kita pun tidak boleh mengkhususkannya juga. (Ibnu Djawari)
Sumber: Al-Ibda’ fi Kamalisysyar’i wa Khathar al- Ibtida’ edisi terjemah (Syaikh Ibn Utsaimin), Adz-Dzikr al-Jama’i Bainal Ittiba’ wal Ibtida’ (Dr. Muhammad bin Abdur Rahman al Khumayyis).
+ comments + 1 comments
semoga anda diselamatkan dari fitnah dan tendensi merasa mempunyai ilmu dan kebenaran yang paling tinggi...aminn
Posting Komentar