{[['']]}
Mengingat pelanggan artikel terbaru semakin meningkat dan saat tulisan ini dibuat sudah mencapai 952 email yang berlangganan. Karena itu statement diatas saya buat agar tidak langsung menerima apa adanya semua tulisan yang ada di Rosyidi.com. Kalimat tersebut saya buat mengacu pada perkataan 4 Imam Madzhab yang semuanya melarang taqlid buta :
Imam Asy-Syafi’i (Imam Madzhab Syafi’i) :
”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)
.
Imam Abu Hanifah (Imam Madzhab Hanafi) :
“Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145)
Imam Malik ( Imam Madzhab Maliki):
“Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.” (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)
Imam Ahmad bin Hambal ( Imam Madzhab Hambali )
“Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)
Aliran yang benar :
Saat ini banyak terjadi perselisihan dalam urusan Agama. Semakin banyak pula bermunculan aliran-aliran sesat. Sebagian sudah dilarang, tapi tidak sedikit pula yang masih tumbuh subur di negara kita ini. Agar tidak keluar dari ajaran Rasulullah, mari kita simak wasiat terakhir Rasulullah,
dalam hadits yang diriwayatkan Abu Daud (4607), Tirmidzi (2676), Ibnu Majah (43 – 44), Ahmad, dll :
Sabda Rasulullah SAW : ‘Saya berpesan kepada kamu supaya sentiasa bertaqwa kepada Allah Azza wajalla serta mendengar dan taat sekalipun kepada seorang hamba yang memerintah kamu. Sesungguhnya orang-orang yang masih hidup di antara kamu akan menyaksikan perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kamu berpegang kepada sunnahku dan dan sunnah Khalifah Ar-Rasyiddin Al-Mahdiyyin yang memperoleh petunjuk ( dari Allah ) dan gigitlah ia dengan gigi geraham kamu ( berpegang teguh dengannya dan jangan dilepaskan sunnah-sunnah itu ). Dan jauhilah kamu dari pekara-pekara yang diadakan, karena sesungguhnya tiap-tiap bid’ah itu menyesatkan.‘
Allah Ta’ala berfirman : Hai orang – orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim. Dan berpeganglah kamu semua dengan tali Allah dan jangan berpecah belah. Dan ingatlah nikmat Allah terhadapmu ketika kamu saling bermusuhan maka Dia satukan hati kamu lalu kamu menjadi saudara dengan nikmat-Nya, dan ingatlah ketika kamu berada di bibir jurang neraka lalu Dia selamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menjelaskan kepada kamu ayat-ayat-Nya agar kamu mendapat petunjuk. (Ali ’Imran 102 – 103)
Jadi kuncinya adalah berpegangan pada Al-Quran dan As-Sunnah dengan didasari penafsiran Rasulullah para sahabat. Jadi jangan ikuti jika ada ulama yang tidak berpegang pada kedua hal tersebut.
”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An Nisaa’:59)
Aliran yang salah :
1. Al-Quran berbeda : Jika Al-Qur’annya berbeda, maka sudah bisa dipastikan Aliran ini sesat, karena menambah-nambahi firman Allah. Ada beberapa Aliran yang semacam ini, misalnya Al-Qur’annya lebih tebal 3x lipat dibandingkan Al-Qur’an pada umumnya. Atau mungkin justru Al-Qur’annya dikurangi. Apalagi jika tidak menggunakan Al-Qur’an sama sekali, pasti bukan agama Islam.
2. Al-Qur’an tetap, Tapi tidak menerima Hadis : Ada juga yang beranggapan pakai bahwa Hadis itu berasal dari mulut manusia, jadi tidak patut diikuti. Padahal, bukankah Al-Qur’an juga disampaikan oleh seorang manusia juga. Selain itu semua yang dilakukan Rasulullah adalah berdasarkan Al-Qur’an. Kalau misalnya tidak memakai Al-Qur’an lalu, dia sholat dari mana dasarnya? Padahal cara-cara gerakan sholat itu semuanya ada di Hadis, di Al-Qur’an hanya secara garis besarnya saja. Jadi kalau ada berpaham semacam ini, maka sangat aneh. Disatu sisi dia sholat berdasarkan Hadis, tapi disisi lain dia tidak menerima hadis.
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan * antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), (An-Nisaa’ : 150 )
* : Maksudnya: beriman kepada Allah, tidak beriman kepada rasul-rasul-Nya.
merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk
orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.(An-Nisaa’ : 151 )
3. Tidak pandang bulu soal Hadis : Semua hadis dipakai. Sahih, Hasan, Dhoif, bahkan palsu. Beranggapan semua hadis itu patut kita hormati. Atau banyak juga yang belum tau bahwa hadis itu adalah Dhoif (lemah) atau palsu.
Contohnya “Tuntutlah ilmu walaupun ke negeri Cina“. Hadi ini sering kita dengar dari mulut ke mulut. Dan hampir semua orang hafal.
Ibnu Hibban berkata : “Hadis tersebut bathil, tidak bersumber (dari Nabi Salallahu alaihi wa salam) sama sekali.
Imam Ahmad mengingkari dan membantah keras Hadis tersebut.
Walaupun maskud dari kalimat itu adalah baik. Namun tidak boleh menggunakannya sebagai dalil, karena itu sama dengan berdusta atas nama Rasulullah.
Banyak sekali hadis-hadis dhoif bahkan palsu yang lainnya beredar di masyarakat. Ini mungkin karena kesalahan dari sistem pengajaran dan pembelajaran masyarakat. Lihatlah pelajaran di Sekolah-sekolah kita. Hanya diajarkan, do’a makan itu gini, sholat itu gini, tanpa tau dalil-dalilnya dari mana sama sekali. Padahal tidak sedikit pelajaran tersebut memakai hadis Dhoif. Contoh do’a makan Allahuma bariklana…dst. Dan lain-lain.
Karena itu lihat dulu, siapa yang meriwayatkan hadis tersebut. Jika tidak ada riwayatnya sama sekali jangan pergunakan, bisa jadi itu hadis palsu.
“Barangsiapa menceritakan dariku satu hadits yang dianggap dusta, maka dia termasuk pendusta.”(HR. Muslim)
Sebagian besar para muhaqiq (peneliti hadits) berpendapat bahwa hadits dlaif tidak boleh diamalkan secara mutlak, baik dalam perkara-perkara hukum maupun keutamaan-keutamaan.
Syaikh Al-Qasimi rahimahullah dalam Qawaid At-Tahdits hal. 94 mengatakan bahwa pendapat tersebut (yakni hadits dlaif tidak diamalkan secara mutlak, pent) diceritakan oleh Ibnu Sayyidin Nas dalam ’Uyunul Atsar dari Yahya bin Ma’in dan dalam Fathul Mughits beliau menyandarkannya kepada Abu Bakar bin Al-Arabi. Pendapat itu juga merupakan pendapat Bukhari, Muslim dan Ibnu Hazm.
4. Tafsir berdasarkan Akal : Ibnu Katsir -rahimahullah- pun mengemukakan pula, bahwa menafsirkan Al-Qur’an tanpa didasari sebagaimana yang berasal dari Rasulullah -shallallahu’alaihi wasallam- atau para Salafush Shaleh (para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in) adalah haram. Telah disebutkan riwayat dari Ibnu Abbas -radliyallahu ‘anhuma- dari Nabi -shallallahu’alaihi wasallam- :
“Barangsiapa yang berbicara (menafsirkan) tentang Al-Qur’an dengan pemikirannya tentang apa yang dia tidak memiliki pengetahuan, maka bersiaplah menyediakan tempat duduknya di Neraka.” (Dikeluarkan oleh At Tirmidzi, An Nasa’i dan Abu Daud, At Tirmidzi mengatakan : hadist hasan).
Tidak sedikit yang mengotak-atik Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemikirannya sendiri.
5. Menambah atau mengurangi : Tidak menambahi atau mengurangi ajaran agama. Misalnya Adzan, lafadznya itu jangan ditambah dan dikurangi. Contoh lafadz yang sudah ditambahi dan sangat populer adalah takbiran. Sering kita dengar lafadznya :
Allahu Akbar
Allahu Akbar
Allahu Akbar
Laa ilaaha illallah Wallahu Akbar
Allahu Akbar Kabiro
Wal hamdulillahi katsiro
Wa Subhanallahi Bukratan Wa Ashila
Laa Ilaaha Illallahu La Na`budu Illaa Iyyah,
Muhklishina Lahud-din, Walau Karihal Kafirun.
Laa Ilaaha Illallahu wahdah,
Shadaqo Wa`dah,
Wa Nashara `Abdah,
Wa A`azza Jundahu Wa Hazamal Ahzaaba Wahdah.
Laa Ilaaha Illallahu Wallahu akbar
Allahu Akbar Wa Lillahil-hamd
Padahal Seperti Ibnu Mas’ud, ia mengucapkan takbir dengan lafadh :
Allahu Akbar
Allahu Akbar
Laa ilaha illallaha, wa Allahu Akbar,
Allahu Akbar wa lillahil hamdu.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/168 dengan isnad yang shahih)
Diriwayatkan dari Ibrahim An Nakha’i, ia berkata, “Mereka bertakbir pada had ’Arafah. Diantara mereka ada yang menghadap kiblat setelah selesai shalat sambil mengucapkan:
Allahu Akbar,
Allahu Akbar,
Laa ilaha illallahu, Wallahu Akbar,
Allahu Akbar walillahil hamd.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf 5649 dengan sanad shahih)
Adapun lafazh takbir; telah diriwayatkan dari sebagian sahabat, diantaranya ialah takbir Abdullah bin Abbas :
Allahu Akbar
Allahu Akbar
Allahu Akbar, wa lillahil hamdu,
Allahu Akbar, wa Ajalla
Allahu Akbar ‘alaa maa hadanaa.
(Diriwayatkan oleh Al Baihaqi 3/315 dan sanadnya shahih)
Dan riwayat lainnya. Dan tidak ada riwayat yang menyebutkan takbiran seperti yang yang takbir jenis pertama diatas. Lalu darimanakah kalimat Allahu Akbar Kabiro, Wal hamdulillahi katsiro, Wa Subhanallahi Bukratan Wa Ashila, Laa Ilaaha Illallahu ,La Na`budu Illaa Iyyah, Muhklishina Lahud-din, Walau Karihal Kafirun. Laa Ilaaha Illallahu wahdah, Shadaqo Wa`dah, Wa Nashara `Abdah,Wa A`azza Jundahu Wa Hazamal Ahzaaba Wahdah berasal ?
Sepertinya itu mirip-mirip dengan do’a iftitah yang hadisnya dhoif :
Allahuakbar kabiro 3x
Alhamdulillahikatsira 3x
Wa Subhanallahi Bukratan Wa Ashila 3x
Allahumma inni audhubika minasyaitonirrajim min hamdzihi wa nafkhihi wa naftsihi
( Diriwayatkan oleh Abu Daud, 764, dalam Kitab Iqamah Ash-Shalah, Bab Ma Yustaftah bihi ash-Shalah min ad-Du’a;
Al-Albani dalam buku Dha’if Sunan Abu Daud, 166, berkomentar bahwa hadis tersebut dha’if. )
.
Lalu lanjutannya mirip do’a Sa’i perjalanan ke-6 dari bukit Marwah ke Safa :
Allahu Akbar
Allahu Akbar
Allahu Akbar walillahil hamdu.
La ilaha illallahu wahdah,
sadaqa wa’dah,
wanasara ’abdah wahazamal ahzaba wahdah.
La ilaha illallahu wala na’budu illa iyyahu mukhlisina lahuddina walau karihal kafirun.
( Kami belum bisa menemukan ini hadis atau bukan. Dan jika hadis juga tidak tau riwayat siapa.)
Versi lainnya yg saya ketahui asal usulnya :
“… Maka dinaikinya bukit Shafa. Setelah kelihatan Baitullah, lalu dia menghadap ke kiblat seraya mentauhidkan Allah dan mengangungkan-Nya. Ujarnya : “La ilaha illallahu wahdahu la syarikalahu, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ’ala kulli syaiin qadir. La ilaha illallahu wahdahu, anjaza wa’dahu wa nashara ’abdahu wa hazamal ahzaba wahdahu….”
( Sahih Muslim, 1188. dalam Terjemah Hadis [ringkasan-red] terbitan KBC )
Mungkin saat ini cuma ditambahi itu, namun jika hal itu tetap dibiarkan, tidak menutup kemungkinan, suatu saat akan berkembang lagi. Kalimatnya akan semakin panjang. Aneh bukan. Jadi biarkan ajaran Rasulullah itu apa adanya. Jangan ditambah ataupun dikurangi. Penambahan bukan berarti menjadi lebih baik, justru sebaliknya. Karena intinya penentangan terhadap agama yang telah sempurna ini.
Apa mereka mendapat wahyu, dengan menambah-nambah hal tersebut?
Apakah mereka ikut para sahabat? padahal para sahabat tidak menambah-nambahi.
Apakah ikut Rasulullah? padahal Rasulullah tidak menambah apalagi mengurangi.
Kalau ada yang mengatakan, “Itukan tujuannya baik?”, menurut siapa? menurut mereka yang menambahkannya bukan.
Berarti mereka menganggap dirinya lebih baik dari Rasulullah, karena menganggap Rasulullah tidak tau ada yang lebih baik, atau bahkan menuduh Rasulullah tidak mengajarkan sesuatu yang lebih baik itu.
W’allahua’lam bishowab.
Ditulis oleh Agam Rosyidi
Posting Komentar