{[['']]}
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Setiap muslim wajib mencintai Nabinya, Rasulullah Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Mencintai beliau tidaklah seperti mencintai manusia selainnya. Karena mencintai beliau termasuk
pokok ajaran dien dan pondasi dasar keimanan. Bahkan kita menjadikan
kecintaan kepada beliau sebagai bagian dari ibadah yang agung. Kita
beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah dengan mencintai dan
memuliakannya. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta'ala,
فَالَّذِينَ آَمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
"Maka orang-orang yang beriman
kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang
yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang
beruntung." (QS. Al-A'raf: 157)
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ
"Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri." (QS. Al-Ahzab: 6)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Dan
demi Zat yang jiwaku berada di tangn-Nya (Demi Allah), tidaklah beriman
salah seorang kamu sehingga aku lebih ia cintai daripada diirnya,
hartanya, anaknya, dan manusia seluruhnya." (HR. Al-Bukhari)
Di dalam al-Shahih disebutkan, Amirul Mukminin Umar bin al-Khathab Radhiyallahu 'Anhu
berkata: "Wahai Rasulullah, demi Allah sungguh engkau adalah orang yang
paling aku cintai daripada segala sesuatu kecuali diriku." Kemudian
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda kepadanya, "Tidak,
wahai Umar, sehingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri."
Lalu Umar berkata, "Wahai Rasulullah, demi Allah sungguh engkau adalah
orang yang paling aku cintai daripada segala sesuatu sehingga daripada
diriku sendiri." Kemudian Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyahut, "Sekarang (baru benar) wahai Umar."
Maka dari sini diketahui, mencintai Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam
bukan urusan nomor dua atau suatu pilihan, yakni jika seseorang mau
mencintainya maka ia boleh mencintainya dan jika tidak mau maka tidak
apa-apa. Tetapi mencintai Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam
adalah kewajiban atas setiap muslim yang menjadi inti keimanan.
Kecintaan kepada beliau ini haruslah lebih kuat daripada kecintaan
terhadap apapun, sampai kepada diri sendiri.
Sedangkan bukti kecintaan kepada beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam adalah dengan berittiba’ (mengikuti sunnahnya), taat dan berpegang teguh pada petunjuknya. Mengambil setiap yang beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam berikan dari urusan dien ini dan meningalkan apa yang beliau larang. Sehingga seorang pecinta Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam
akan membenarkan setiap yang beliau beritakan, mentaati apa yang beliau
perintahkan, meninggalkan apa yang beliau larang, dan tidak beribadah
kepada Allah kecuali dengan apa yang disyariatkannya.
Allah Ta'ala berfirman,
قُلْ
إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ
وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Katakanlah: "Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Ali Imran: 31)
Al Qadhi 'Iyadl rahimahullah, berkata: "Di antara bentuk cinta kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah dengan menolong sunnahnya, membela syariahnya, berangan-angan hidup bersamanya, . . . "
Ibnu Rajab, dalam Fathul Bari Syarh Shahih al Bukhari, menyebutkan bahwa kecintaan bisa sempurna dengan ketaatan, sebagai firman Allah Ta'ala:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ
"Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku." (QS. Ali Imran: 31)
Karenanya klaim cinta kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
tidak dapat diterima dengan sekadar memeringati hari kelahiran beliau.
Di mana hal itu tidak pernah dilakukan oleh umat terbaik yang telah
membuktikan kecintaan kepada beliau dengan sebenar-benarnya. Mereka
korbankan jiwa, raga, dan apa saja yang mereka miliki untuk mendukung
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Maka jika kebenaran cinta kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam
adalah dengan memperingati dan merayakan hari kelahirannya, pastinya
para sahabat akan lebih dulu mengerjakannya. Jika merayakan maulid
adalah memiliki pahala besar tentu para sahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam akan lebih dulu mengawalinya. Tidak ada generasi yang lebih rakus kepada kebaikan dan lebih kuat kecintaan kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam daripada orang-orang beriman yang pernah melihat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan pernah hidup bersamanya.
Sejarah Peringatan Maulid Nabi
Dalam catatan sejarah, motivasi orang-orang yang mula-mula melakukan peringatan maulid Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam -yaitu pengikut mazhab Bathiniyyah- adalah tidak didasari rasa cinta kepada beliau, tapi untuk tujuan politis.
Pelopor pertama peringatan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
adalah Bani Ubaid al-Qaddaah atau yang lebih dikenal dengan
al-Fathimiyyun atau Bani Fathimiyyah pada pertengahan abad ke empat
Hijriyah, setelah berhasil memindahkan dinasti Fathimiyah dari Maroko ke
Mesir pada tahun 362 H.
Perayaan maulid diadakan untuk menarik
simpati masyarakat yang mayoritasnya berada dalam kondisi ekonomi yang
sangat terpuruk untuk mendukung kekuasaannya dan masuk ke dalam mazhab
bathiniyahnya yang sangat menyimpang dari akidah, bahkan bertentangan
dengan Islam.
Pakar sejarah yang bernama Al Maqrizy
menjelaskan bahwa begitu banyak perayaan yang dilakukan oleh Fatimiyyun
dalam setahun. Dan beliau menyebutkan kurang lebih 25 perayaan yang
rutin dilakukan setiap tahun dalam masa kekuasaannya, termasuk di
antaranya adalah peringatan maulid Nabi. Tidak hanya perayaan-perayaan
Islam tapi lebih parah lagi, mereka juga mengadakan peringatan hari raya
orang-orang Majusi dan Nashrani yaitu hari Nauruz (tahun baru Persia),
hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), dan hari Khamisul ‘Adas (perayaan
tiga hari sebelum Paskah).
Fakta sejarah, peringatan maulid tidak ditemukan pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
dan masa tiga generasi pertama Islam yang disebut sebagai generasi
terbaik umat ini. Sehingga menyebabkan banyak di antara ulama yang
mengingkarinya dan memasukkannya ke dalam bid'ah haram.
Tak dipungkiri, di antara ulama ada yang
menganggapnya sebagai bid'ah hasanah (inovasi yang baik), selama tidak
dibarengi dengan kemungkaran. Pendapat ini diwakili antara lain oleh
Ibnu Hajar al Atsqalani dan as-Suyuti. Keduanya mengatakan bahwa status
hukum maulid Nabi adalah bid’ah mahmudah (bid’ah terpuji). Tidak pernah
dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, tetapi keberadaannya membawa maslahat walaupun juga tidak lepas dari berbagai mudharat.
Keabsahan peringatan maulid Nabi bagi
mereka disandarkan pada dalil umum yang tidak berhubungan langsung
dengan titik permasalahan, sedangkan para ulama yang menentangnya
membangun argumentasinya melalui pendekatan normatif tekstual yang tidak
ditemukan baik secara tersurat maupun secara tersirat dalam Al-Quran
dan al-Sunnah, dan diperkuat dengan kaedah umum dalam ibadah yang
menuntut adanya dalil spesifik yang menunjang disyariatkannya suatu
ibadah. Wallahu Ta'ala A'lam. [PurWD/voa-islam.com]
+ comments + 1 comments
ajib ...
Posting Komentar